Kebudayaan adalah proses yang melandasi segenap lini kehidupan masyarakat. Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, serta berbagai ekosistem lain yang mempengaruhi dan dipengaruhinya.
MASYARAKAT adalah pemilik dan penggerak kebudayaan. Masyarakat berhubungan dengan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, kelompoknya, juga lingkungannya. Kebudayaan lahir dari pemenuhan kebutuhan itu. Sehingga ketika kebutuhan masyarakat berubah, berubah pula corak hubungannya beserta dengan produk dan praktik kebudayaannya.
Perumusan UU Pemajuan Kebudayaan bercermin pada situasi hidup masyarakat yang selalu berubah dan berkembang seiring zaman. Oleh karena itu, definisi kebudayaannya adalah “segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat”. Penyikapannya tegas: kebudayaan bersumber dari raga, jiwa, akal, dan budi manusia—keseluruhan unsur kehidupan manusia. Atas dasar itulah, UU Pemajuan Kebudayaan mengartikan kebudayan nasional sebagai “keseluruhan proses dan hasil interaksi antarkebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia”.
Kata “proses” dan “hasil” yang terhubung dalam satu kalimat merupakan pengakuan atas perkembangan masyarakat sebagai pondasi kebudayaan. Karena terikat dengan kebutuhan bersama, kebudayaan berlaku dan dimiliki secara kolektif. Kebudayaan tidak melekat pada manusia sebagai seorang pribadi, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang terus berubah.
LIMA LANDASAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN
Semua produk dan praktik budaya merupakan hasil pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain.
Satu unsur kebudayaan bisa mengandung lebih dari satu nilai atau makna.
Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan.
Memajukan kebudayaan berarti turut memajukan berbagai ekosistem lain di luar kebudayaan.
Kebudayaan akan terus berkembang dan berubah seiring zaman sehingga melestarikan saja tidak cukup.
Semua produk dan praktik budaya merupakan hasil pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain
TAK ADA KEBUDAYAAN YANG MURNI. Semua produk dan praktik budaya merupakan hasil pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain, dan akan terus berkembang dan berubah seiring zaman. Tidak ada yang pasti. Satu-satunya yang pasti adalah perubahan itu sendiri.
Musik keroncong dan tanjidor, misalnya, mencerminkan sebuah perjalanan panjang lintas waktu dan wilayah. Dalam komposisi suaranya terdengar pengaruh musik Portugis, India, Arab, Melayu, Jawa, hingga Betawi. Sejarah perkembangannya terentang dari tanah Arab ke semenanjung Iberia lalu India, Malaka, hingga berbagai pelosok nusantara. Dalam setiap persinggahannya, musik keroncong diperkaya. Hasilnya: sebuah perpaduan budaya yang kaya dengan wawasan dari berbagai bagian dunia.
Laju perpindahan manusia juga berdampak terhadap kebudayaan. Ketika sekelompok manusia bertemu kelompok lain dengan pengalaman dan kesepakatan budaya yang berbeda, terjadilah pertemuan dan pembauran yang melahirkan kebaruan-kebaruan. Pada zaman modern ini, ketika kemajuan sistem transportasi dan teknologi komunikasi kian memudahkan pertemuan antarmanusia, bisa dipastikan tidak ada budaya yang terkungkung dalam cangkangnya sendiri.
Satu unsur kebudayaan bisa mengandung lebih dari satu nilai atau makna
KEBUDAYAAN pada hakikatnya adalah pemenuh kebutuhan manusia. Ketika kebutuhan manusia berubah atau bertambah, maka pemaknaan masyarakat atas kebudayaannya turut berubah. Seiring berkembangnya zaman, suatu unsur kebudayaan bisa memiliki nilai atau makna baru—kadang beriringan dengan makna lama, kadang menggantikan, dan kadang memperkaya.
Batik, misalnya, bermula sebagai pakaian bangsawan. Ia hanya digunakan oleh keluarga keraton untuk kebutuhan ritual dan upacara di lingkaran sosial tersebut. Produksi batik pun terbatas pada pengrajin dan seniman yang bernaung di bawah lindungan keraton. Kalaupun ada persebaran ke luar lingkungan keraton, hal itu terjadi secara kebetulan, karena tidak sedikit pengrajin dan seniman batik yang tinggal di luar keraton.
Perubahan zaman menghadirkan tata sosial baru—kerajaan tak lagi berlaku sebagai institusi kekuasaan tertinggi. Konsekuensinya, sejumlah tradisi yang semula eksklusif bagi bangsawan lantas menyebar ke masyarakat luas—salah satunya batik. Kini kain batik dapat dengan mudah ditemui di pasar-pasar, dari pedagang asongan sampai butik mewah. Motif batik juga hadir pada berbagai jenis pakaian, dari seragam pekerja hingga kostum peragaan busana. Awalnya hanya bernilai sebagai perangkat ritual kalangan elit, batik kini juga bernilai sebagai komoditas ekonomi dan karya seni di berbagai kalangan.
Dalam UU Pemajuan Kebudayaan, nilai atau makna suatu unsur kebudayaan terangkum dalam istilah Objek Pemajuan Kebudayaan, yang pada bagian Ketentuan Umum diartikan sebagai “unsur kebudayaan yang menjadi sasaran utama pemajuan kebudayaan”. Ada sepuluh jenis Objek Pemajuan Kebudayaan yang menjadi prioritas dalam UU Pemajuan Kebudayaan: adat-istiadat, bahasa, manuskrip, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat, ritus, seni, teknologi tradisional, dan tradisi lisan.
Sebagaimana suatu unsur kebudayaan bisa memiliki banyak nilai dan makna di masyarakat, suatu unsur kebudayaan bisa digolongkan dalam lebih dari satu jenis Objek Pemajuan Kebudayaan. Mari kembali pada contoh batik. Dalam konteks UU Pemajuan Kebudayaan, batik setidaknya bisa digolongkan dalam lima jenis Objek Pemajuan Kebudayaan:
- adat istiadat, bila dilihat dari pemanfaatannya dalam upacara adat dan kegiatan keagamaan.
- ritus, bila dilihat dari nilai kultural dan spiritual yang diakui oleh sejumlah kalangan masyarakat.
- teknologi tradisional, bila dilihat dari perangkat-perangkat produksinya seperti canting.
- pengetahuan tradisional, bila dilihat dari falsafah dan wawasan hidup yang mendasari motifnya.
- seni, bila dilihat dari nilai artistik desain motif-motifnya.
Tata cara penggolongan yang luwes nan dinamis ini disebut sistem register jamak atau multi-tagging. Manfaatnya ganda. Pertama, sistem register jamak menjaga agar UU Pemajuan Kebudayaan tetap senafas dengan dinamika masyarakat dalam berbudaya. Dukungan serta pelindungan yang terangkum dalam UU Pemajuan Kebudayaan hanya akan berfaedah apabila undang-undangnya relevan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Dengan mengakui bahwa kebudayaan terus berproses serta terbuka terhadap makna dan nilai baru, UU Pemajuan Kebudayaan bisa secara strategis mendukung dan melindungi berbagai proses kebudayaan yang berlangsung di masyarakat serta berbagai kemungkinan perkembangannya.
Kedua, sistem register jamak memungkinkan UU Pemajuan Kebudayaan untuk mewadahi upaya-upaya pemajuan kebudayaan secara lintas sektoral. Seperti yang sudah disebutkan, UU Pemajuan Kebudayaan berpijak pada konsepsi kebudayaan sebagai suatu ekosistem, sebagai saling-silang berbagai hubungan sosial-ekonomi yang saling menunjang. Sistem klasifikasi yang kaku, yang hanya mengizinkan satu kategori untuk setiap unsur kebudayaan, hanya akan menghasilkan pendataan yang tidak komplit dan mengkotak-kotakkan.
Jika batik cuma dianggap karya seni, misalnya, maka persoalan yang ada pada adat istiadat, ritus, teknologi dan pengetahuan tradisionalnya tidak akan teratasi. Pendataan semacam itu jelas tidak akan menghasilkan strategi pemajuan yang menyeluruh, sebagaimana yang sudah terjadi selama ini. Strategi kebudayaan yang berlandaskan pada pendataan yang mengkotak-kotakkan hanya akan menyasar pada unsur kebudayaannya saja, dan mengabaikan berbagai relasi sosial-ekonomi yang melingkupinya.
Sistem register jamak memberi perhatian khusus pada kesaling-hubungan suatu unsur kebudayaan. Pemanfaatan sistem ini berdasar pada kesadaran bahwa upaya pemajuan suatu unsur kebudayaan selalu mensyaratkan pemajuan terhadap unsur-unsur terkait di dalam kebudayaan dan lanskap sosial-politik di masyarakat.
Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan
DALAM ILMU BIOLOGI, ekosistem dipahami sebagai tata interaksi yang saling menunjang antara berbagai makhluk hidup dan unsur tak hidup dalam suatu lingkup wilayah tertentu. Jika ada satu saja unsur yang hilang atau berubah, dampaknya akan dirasakan seluruh ekosistem.
Perspektif serupa bisa diterapkan di ranah kebudayaan. Ekosistem kebudayaan tersusun atas susunan interaksi yang saling menunjang antara pelaku, pengguna, infrastruktur, lingkungan, dan unsur-unsur kebudayaan dalam suatu kawasan tertentu. Seluruh unsur terhubung dengan berbagai rantai kerja yang mempertukarkan jasa, benda, dan makna.
Perspektif berbasis ekosistem menempatkan hubungan antarmanusia sebagai pondasi kebudayaan. Masyarakat tidak begitu saja mengadopsi praktik atau menggunakan produk dalam keseharian mereka. Praktik atau produk tersebut haruslah selaras dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai hubungan sosial-ekonomi yang mereka lakoni sehari-hari. Ketika ada kebutuhannya, barulah suatu praktik atau produk menjadi bermakna. Bukan sebaliknya.
Selama ini, perspektif kebanyakan orang mengenai kebudayaan masih terpaku pada produk dan praktik semata. Hubungan antarmanusia dianggap sebagai konsekuensi dari keberadaan produk dan praktik tersebut. Konsekuensinya: pemetaan masalah kebudayaan jadi serba keliru dan serba menggampangkan.
Seolah-olah hanya dengan mengatasi persoalan kecil, kita bisa menciptakan perubahan yang signifikan. Seolah-olah hanya dengan mendirikan rumah adat, maka seluruh adat istiadat akan terpelihara. Seolah-olah hanya dengan membeli alat-alat kesenian yang hampir punah, maka kesenian itu akan langsung lestari. Seakan-akan hanya dengan mengadakan suatu benda kebudayaan, maka relasi sosial yang semula menciptakan dan mengembangkan benda tersebut akan muncul dengan sendirinya.
Memajukan ekosistem kebudayaan tidak bisa dan tidak boleh setengah-setengah. Memajukan kebudayaan bukan hanya memajukan unsur-unsur kebudayaan, tapi memajukan pula seluruh hubungan sosial-ekonomi yang memungkinkan unsur-unsur itu ada dan berkembang. Setiap unsur perlu dikembangkan dan diperkuat. Satu lemah, lainnya kena imbasnya.
Ambil contoh kain gringsing di Bali. Untuk merevitalisasi kain gringsing, kita perlu mengidentifikasi berbagai hubungan sosial yang memungkinkan kain gringsing ada dan berkembang. Hubungan sosial itu bukan cuma sebatas hubungan antara sesama warga Desa Tenganan—lokasi asal kain gringsing—melainkan juga hubungan masyarakat Tenganan dengan masyarakat dan kebudayaan Bali, kedekatan masyarakat Tenganan dengan lingkungan alam sekitarnya, persebaran pengetahuan tentang kain gringsing di masyarakat Bali, hubungan kerja antara pengrajin kain gringsing dengan penyelenggara pasar, pentingnya kain gringsing bagi warga Tenganan dan Bali, pentingnya kain gringsing di tengah gelombang turis yang mewarnai Bali, dan seterusnya.
Contoh lain: film Indonesia. Film Indonesia tidak bisa dikembangkan hanya dengan cara membangun lebih banyak bioskop atau menjamin kuota jam tayang film Indonesia. Keduanya hanyalah sebagian kecil dari elemen pemutaran—yang terdiri dari enam elemen ekosistem perfilman. Kita perlu meninjau kembali corak produksi film di tingkat masyarakat dan industri, kapasitas dan relasi kerja pembuat film, modus persebaran film, budaya menonton di bioskop maupun non-bioskop; persebaran pengetahuan, apresiasi, dan literasi film; maupun kualitas dan keterjangkauan arsip-arsip film.
Memajukan kebudayaan berarti turut memajukan berbagai ekosistem lain di luar kebudayaan.
MEMAJUKAN EKOSISTEM KEBUDAYAAN menuntut keterbukaan dan keluwesan cara pandang. Perumusan kebijakan dan strategi kebudayaan tidak dapat dilakukan berdasarkan sekat-sekat antara sektor-sektor kebudayaan. Kita tidak bisa lagi secara kaku memilah mana sektor seni, mana tradisi lisan, mana pengetahuan tradisional, dan lain-lain.
Pendekatan sektoral tidaklah selaras dalam konteks UU Pemajuan Kebudayaan yang menganut pakem sistem register jamak (multi-tagging)—satu unsur dapat digolongkan ke dalam berbagai lingkup kebudayaan secara bersamaan. Kain gringsing, misalnya—dengan pendekatan register jamak—sekurang-kurangnya mewakili lima jenis Objek Pemajuan Kebudayaan: ritus, adat istiadat, teknologi tradisional, pengetahuan tradisional, dan seni.
Pendekatan sektoral juga tidak selaras dengan dinamika masyarakat dalam mencipta dan mengelola kebudayaan. Daya hidup masyarakat sebagai pelaku kebudayaan terkait dengan berbagai hal, yang banyak di antaranya tampak tak berhubungan langsung dengan kebudayaan. Konsekuensinya, upaya pemajuan kebudayaan perlu mempertimbangkan kekuatan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, serta ekosistem-ekosistem lain yang mempengaruhi dan dipengaruhinya.
Hubungan sosial yang melandasi penciptaan dan persebaran sastra, misalnya, terkait erat dengan hubungan sosial yang mendasari tradisi lisan, bisnis percetakan, maupun institusi pendidikan. Tiga hal tersebut masih erat kaitannya dengan kerja-kerja kebudayaan. Di luar ranah kebudayaan, masih banyak hal yang juga terkait. Memajukan sastra perlu turut mempertimbangkan kualitas hutan, yang kayunya menjadi kertas bagi karya sastra maupun buku-buku acuan sebagai peningkat daya literasi. Memajukan sastra juga perlu menguatkan sistem jaminan sosial, sehingga setiap pekerja dan pegiat sastra memiliki jaring pengaman terhadap risiko sosial dan ekonomi akibat hubungan kerja.
Begitu kompleksnya hubungan masyarakat dalam berbudaya hanya semakin menegaskan perlunya pendekatan berbasis ekosistem dalam menggagas dan menjalankan usaha pemajuan kebudayaan. Mandat Undang-undang Pemajuan Kebudayaan “menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan,” apabila kita bahas lebih lanjut, adalah mandat untuk memberdayakan dan memperkuat hubungan sosial-ekonomi dalam suatu kawasan yang memungkinkan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan, serta pembinaan sumber daya manusia yang relevan dengan Objek Pemajuan Kebudayaan.
Kebudayaan akan terus berkembang dan berubah seiring zaman sehingga melestarikan saja tidak cukup
KEBUDAYAAN BEGITU LENTUR. Untuk memajukannya, butuh strategi kerja yang menyeluruh. Selama ini rencana dan wacana kita terhadap pemajuan kebudayaan terlalu bertumpu pada pelestarian. Prioritas pelestarian adalah mencegah suatu kebudayaan agar tidak rusak atau musnah. Caranya melalui penjagaan, pemeliharaan, pengarsipan, pemulihan, hingga penyelamatan.
Masalahnya, pelestarian saja tidak cukup. Pelestarian hanya akan efektif dalam masyarakat yang relatif seragam, tak banyak berubah, dan tertutup dari pengaruh luar. Sementara Indonesia terbentuk dari masyarakat yang beragam. Sebagai bangsa, kita juga akrab dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Kebudayaan-kebudayaan baru terus bermunculan dan hidup berdampingan dengan kebudayaan-kebudayaan lama.
Menyikapi hal itu, UU Pemajuan Kebudayaan menggariskan empat langkah strategis untuk memajukan kebudayaan: pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Keempatnya saling terkait. Fungsi-fungsi pelestarian terwadahi dalam langkah pelindungan, sementara langkah pemanfaatan memfasilitasi pendayagunaan aset kebudayaan nasional melalui inovasi, penghayatan nilai, dan interaksi antarbudaya. Di satu sisi, ada respek terhadap tradisi dan kebudayaan lama. Di sisi lain, ada keterbukaan terhadap perbedaan dan kebaruan.
Dua langkah lainnya, yakni pengembangan dan pembinaan, bertanggungjawab atas penguatan ekosistem kebudayaan dan sumber daya manusia yang menghidupinya. UU Pemajuan Kebudayaan memandatkan pemerintah pusat dan daerah untuk “menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan”. Dengan menempatkan ekosistem kebudayaan sebagai tujuan, UU Pemajuan Kebudayaan mendorong agar upaya pemajuan kebudayaan tidak terbatas pada penyelamatan artefak budaya saja, tapi juga penguatan terhadap unsur-unsur kehidupan masyarakat yang terkait dengannya.
Sebagai contoh, alat musik sampek yang dimainkan oleh orang-orang Dayak Kenyah di Apo Kayan sempat punah karena tidak banyak anak muda di Apo Kayan yang bisa memainkannya. Salah satu sebabnya adalah perubahan pola permukiman. Saat rumah panjang masih ada, sampek dimainkan di beranda rumah panjang yang tidak bersekat—setiap orang bisa datang untuk mendengarkan dan anak-anak memanfaatkan waktu-waktu itu untuk mempelajari teknik bermain sampek. Ketika ruang hidup bersama berganti menjadi rumah-rumah pribadi, tak ada lagi ruang sosial yang memungkinkan proses belajar musik seperti dulu.
Kita tidak bisa menyelamatkan budaya sampek hanya dengan menyelamatkan alat musiknya saja. Kita juga perlu mengupayakan ruang sosial yang tepat, yang memungkinkan proses pembelajaran dan pementasan musik sampek. Hubungan sosialnya terlebih dulu diperkuat, sehingga kebudayaannya bisa berdaya.