PRAKTIK BUDAYA
UU Pemajuan Kebudayaan berpijak pada keseharian masyarakat dalam berbudaya, dari yang paling tradisional sampai yang paling kontemporer, dari yang hampir punah hingga yang terus berkembang.
Bagaimana kita menyerap budaya asing, mengolahnya menjadi budaya baru, dan bisa terus mengembangkannya.
Bagaimana kita dapat terus berkontribusi terhadap kebudayaan dunia.
Semua praktik dan produk budaya merupakan hasil pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain.
Kita tidak perlu takut dengan budaya asing. Kita justru bisa terus berkontribusi pada dunia.
Satu unsur kebudayaan bisa mengandung lebih dari satu nilai atau makna.
Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan dan ekosistem lain di luar kebudayaan.
Peradaban kita tumbuh dan berkembang karena pertemuan manusia dari berbagai etnis dan wilayah. Dangdut, contohnya, tercipta dari serangkaian interaksi antarbudaya di nusantara, baik yang disengaja maupun tidak. Kekhasan bunyi dangdut merupakan perpaduan antara Orkes Melayu, yang populer di Indonesia pada 1930-an hingga 1950-an, dan musik dalam film-film India, yang mendominasi tontonan di Indonesia pada era Sukarno akibat larangan impor film Eropa dan Amerika Serikat. Dangdut yang terus berkembang seiring zaman, kini punya varian baru seperti dangdut rock dan dangdut daerah.
Contoh lainnya: keroncong. Kini diakui sebagai bagian dari khasanah musik nusantara, keroncong aslinya adalah hasil perjalanan panjang yang bermula di tanah Afrika. Perdagangan dan perbudakan membawa sejumlah warga Afrika Barat dan Utara—beserta tradisi-tradisi musiknya—ke Portugal sejak abad ke-7. Di sana, mereka mementaskan musik pengiring tarian untuk kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan, yang kemudian mensponsori sejumlah ekspedisi ke timur atas nama laba, agama, dan propaganda bangsa pada abad ke-15. Terbawalah budaya impor ini ke India, Malaka, Kepulauan Nusa Tenggara, hingga Batavia. Dalam setiap persinggahannya, keroncong diperkaya hingga menjadi musik yang kita kenal sekarang.
Kekayaan budaya kita memperkaya kebudayaan dunia. Kapur barus, misalnya, pernah menjadi bahan pengawet mumi raja-raja di Mesir. Jaringan pedagang Arab, India, dan Tionghoa membawanya dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara hingga ujung Afrika. Lintas perkembangan serupa bisa kita lihat dalam silat. Digemari di nusantara sejak lama, silat baru mendunia sebagai budaya populer sejak popularitas The Raid pada 2011. Setelah itu, tiga aktor utama film arahan Gareth Evans tersebut—Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Joe Taslim—laris sebagai aktor maupun koregorafer film-film laga produksi Hollywood.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita bisa turut berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan nusantara di lingkar pergaulan dunia. Seringkali, orang luar yang lebih berminat daripada kita. Gamelan, misalnya, banyak diadopsi dalam khazanah musik dunia. Bunyi ketukannya yang khas mengundang eksperimentasi banyak musisi dunia, mulai dari ikon anak muda seperti Bjork dan Sonic Youth hingga komponis ternama seperti Philip Glass dan Ryuichi Sakamoto.
Nasib serupa dialami batik. Motif-motifnya yang unik membuat batik begitu digemari sehingga banyak tampil di berbagai lingkar pergaulan dunia, dari etalase toko busana hingga forum pertemuan antarnegara. Salah satu yang berperan adalah Nelson Mandela, tokoh kemanusiaan dan mantan presiden Afrika Selatan yang dikenal selalu memakai batik pada penampilan publiknya.
Kebudayaan hadir sebagai pemenuh kebutuhan manusia. Dengan begitu beragamnya kebutuhan manusia, sudah tentu suatu unsur kebudayaan bisa dimaknai lebih daripada satu nilai—tergantung siapa yang memaknainya. Kain gringsing, misalnya, umumnya mungkin lebih bermakna sebagai cenderamata bagi para pelancong. Namun, bagi masyarakat Desa Tenganan di Bali, kain gringsing adalah syarat partisipasi publik. Tanpanya, seorang warga Tenganan tidak bisa ikut musyawarah di balai adat. Kain gringsing juga dimaknai warga Tenganan sebagai penolak bala—ia kerap dikenakan dalam ritual potong gigi. Nama kain gringsing sendiri bermakna “tidak sakit”.
UU Pemajuan Kebudayaan peka terhadap luwesnya masyarakat dalam berbudaya. Itulah mengapa UU Pemajuan Kebudayaan bisa menggolongkan suatu produk budaya dalam lebih dari satu jenis Objek Pemajuan Kebudayaan. Berdasarkan pemanfaatan masyarakat, kain gringsing adalah bagian dari adat istiadat dan ritus. Berdasarkan wujud fisik, ia adalah bagian dari seni karena nilai artistik desain motif-motifnya. Berdasarkan proses produksinya, ia adalah bagian dari teknologi tradisional dan pengetahuan tradisional, karena teknik pembuatan yang spesifik pada lingkungan Desa Tenganan dan penghimpunan bahan baku yang berpijak pada kearifan masyarakat setempat.
Masalah kebudayaan tidak bisa cuma diatasi dengan membenahi satu aspek saja. Sehingga dalam membenahi masalah dunia perfilman, misalnya, ada banyak aspek yang perlu dibereskan selain jumlah bioskop. Ekosistem perfilman meliputi aspek produksi, distribusi, penayangan, apresiasi, pendidikan, hingga pengarsipan—kebutuhan setiap aspek perlu diteliti dan disikapi. Kondisi saat ini: jumlah produksi makin tinggi, tapi saluran distribusi belum memadai. Setiap tahunnya kita memproduksi 2.000 judul, tapi jaringan bioskop hanya bisa mewadahi 400-500 film, yang itu pun masih harus berbagi dengan film impor. Dibutuhkan sistem peredaran yang bisa mewadahi keragaman film.
Di sisi lain, setiap produk budaya memiliki nilai yang melampaui hal-hal yang kasat mata. Borobudur, misalnya, bukan cuma cagar budaya tapi juga sumber pengetahuan. Konsep bangunannya mencerminkan filosofi Buddha tentang keseimbangan hidup. Rancang bangunnya memuat wawasan arsitektur yang melampaui zamannya. Ada banyak hal yang bisa diolah dari pengetahuan ketimbang hanya soal menjaga cagar budaya. Dalam setiap kebudayaan, ada banyak unsur yang perlu diperhatikan, dan ada banyak aspek ekosistem yang perlu dimajukan bersama-sama.
Semua praktik dan produk budaya merupakan hasil pencampuran dan pertemuan masyarakat dari budaya lain.
Peradaban kita tumbuh dan berkembang karena pertemuan manusia dari berbagai etnis dan wilayah. Dangdut, contohnya, tercipta dari serangkaian interaksi antarbudaya di nusantara, baik yang disengaja maupun tidak. Kekhasan bunyi dangdut merupakan perpaduan antara Orkes Melayu, yang populer di Indonesia pada 1930-an hingga 1950-an, dan musik dalam film-film India, yang mendominasi tontonan di Indonesia pada era Sukarno akibat larangan impor film Eropa dan Amerika Serikat. Dangdut yang terus berkembang seiring zaman, kini punya varian baru seperti dangdut rock dan dangdut daerah.
Contoh lainnya: keroncong. Kini diakui sebagai bagian dari khasanah musik nusantara, keroncong aslinya adalah hasil perjalanan panjang yang bermula di tanah Afrika. Perdagangan dan perbudakan membawa sejumlah warga Afrika Barat dan Utara—beserta tradisi-tradisi musiknya—ke Portugal sejak abad ke-7. Di sana, mereka mementaskan musik pengiring tarian untuk kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan, yang kemudian mensponsori sejumlah ekspedisi ke timur atas nama laba, agama, dan propaganda bangsa pada abad ke-15. Terbawalah budaya impor ini ke India, Malaka, Kepulauan Nusa Tenggara, hingga Batavia. Dalam setiap persinggahannya, keroncong diperkaya hingga menjadi musik yang kita kenal sekarang.
Kita tidak perlu takut dengan budaya asing. Kita justru bisa terus berkontribusi pada dunia.
Kekayaan budaya kita memperkaya kebudayaan dunia. Kapur barus, misalnya, pernah menjadi bahan pengawet mumi raja-raja di Mesir. Jaringan pedagang Arab, India, dan Tionghoa membawanya dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara hingga ujung Afrika. Lintas perkembangan serupa bisa kita lihat dalam silat. Digemari di nusantara sejak lama, silat baru mendunia sebagai budaya populer sejak popularitas The Raid pada 2011. Setelah itu, tiga aktor utama film arahan Gareth Evans tersebut—Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Joe Taslim—laris sebagai aktor maupun koregorafer film-film laga produksi Hollywood.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita bisa turut berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan nusantara di lingkar pergaulan dunia. Seringkali, orang luar yang lebih berminat daripada kita. Gamelan, misalnya, banyak diadopsi dalam khazanah musik dunia. Bunyi ketukannya yang khas mengundang eksperimentasi banyak musisi dunia, mulai dari ikon anak muda seperti Bjork dan Sonic Youth hingga komponis ternama seperti Philip Glass dan Ryuichi Sakamoto.
Nasib serupa dialami batik. Motif-motifnya yang unik membuat batik begitu digemari sehingga banyak tampil di berbagai lingkar pergaulan dunia, dari etalase toko busana hingga forum pertemuan antarnegara. Salah satu yang berperan adalah Nelson Mandela, tokoh kemanusiaan dan mantan presiden Afrika Selatan yang dikenal selalu memakai batik pada penampilan publiknya.
Satu unsur kebudayaan bisa mengandung lebih dari satu nilai atau makna.
Kebudayaan hadir sebagai pemenuh kebutuhan manusia. Dengan begitu beragamnya kebutuhan manusia, sudah tentu suatu unsur kebudayaan bisa dimaknai lebih daripada satu nilai—tergantung siapa yang memaknainya. Kain gringsing, misalnya, umumnya mungkin lebih bermakna sebagai cenderamata bagi para pelancong. Namun, bagi masyarakat Desa Tenganan di Bali, kain gringsing adalah syarat partisipasi publik. Tanpanya, seorang warga Tenganan tidak bisa ikut musyawarah di balai adat. Kain gringsing juga dimaknai warga Tenganan sebagai penolak bala—ia kerap dikenakan dalam ritual potong gigi. Nama kain gringsing sendiri bermakna “tidak sakit”.
UU Pemajuan Kebudayaan peka terhadap luwesnya masyarakat dalam berbudaya. Itulah mengapa UU Pemajuan Kebudayaan bisa menggolongkan suatu produk budaya dalam lebih dari satu jenis Objek Pemajuan Kebudayaan. Berdasarkan pemanfaatan masyarakat, kain gringsing adalah bagian dari adat istiadat dan ritus. Berdasarkan wujud fisik, ia adalah bagian dari seni karena nilai artistik desain motif-motifnya. Berdasarkan proses produksinya, ia adalah bagian dari teknologi tradisional dan pengetahuan tradisional, karena teknik pembuatan yang spesifik pada lingkungan Desa Tenganan dan penghimpunan bahan baku yang berpijak pada kearifan masyarakat setempat.
Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan dan ekosistem lain di luar kebudayaan.
Masalah kebudayaan tidak bisa cuma diatasi dengan membenahi satu aspek saja. Sehingga dalam membenahi masalah dunia perfilman, misalnya, ada banyak aspek yang perlu dibereskan selain jumlah bioskop. Ekosistem perfilman meliputi aspek produksi, distribusi, penayangan, apresiasi, pendidikan, hingga pengarsipan—kebutuhan setiap aspek perlu diteliti dan disikapi. Kondisi saat ini: jumlah produksi makin tinggi, tapi saluran distribusi belum memadai. Setiap tahunnya kita memproduksi 2.000 judul, tapi jaringan bioskop hanya bisa mewadahi 400-500 film, yang itu pun masih harus berbagi dengan film impor. Dibutuhkan sistem peredaran yang bisa mewadahi keragaman film.
Di sisi lain, setiap produk budaya memiliki nilai yang melampaui hal-hal yang kasat mata. Borobudur, misalnya, bukan cuma cagar budaya tapi juga sumber pengetahuan. Konsep bangunannya mencerminkan filosofi Buddha tentang keseimbangan hidup. Rancang bangunnya memuat wawasan arsitektur yang melampaui zamannya. Ada banyak hal yang bisa diolah dari pengetahuan ketimbang hanya soal menjaga cagar budaya. Dalam setiap kebudayaan, ada banyak unsur yang perlu diperhatikan, dan ada banyak aspek ekosistem yang perlu dimajukan bersama-sama.